Catatan Herman Wijaya
Wartawan Senior
PERS sering disebut sebagai pilar ke-4 demokrasi, setelah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksistensi pers sangat penting dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Itulah sebabnya setiap Hari Pers Nasional, Presiden -- khususnya Jokowi -- mengusahakan selalu hadir, walau pun sekali dia pernah tidak hadir.
Dalam HPN 2020 ini Jokowi hadir. Ia datang untuk memberi sambutan dalam acara yang berlangsung di Komplek Sekretariat Daerah (Sekda) Kalsel, di Kompleks Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan Aneka Tambang, Banjar Baru, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2/2020).
Saya tidak hadir dalam acara itu. Jaraknya sekitar 20 Km dari hotel tempat kami menginap. Pagi-pagi benar Ketum Forwan Sutrisno Buyil sudah menelepon, mengajak ke sana. Rekan Dimas Supriyanto yang satu kamar dengan saya mengatakan tidak berangkat. Kondisi kesehatannya sedang drop. Tidak lama kemudian dia minta diantar ke rumah sakit atau klinik yang memiliki layanan darurat.
Saya memesan taksi online, lalu menuju rumah sakit daerah (RSUD) Ulin. Dalam perjalanan saya meminta diantar ke rumah sakit atau klinik terdekat. Sopir mengantar sebuah rumah sakit swasta. Dimas langsung masuk UGD, saya mengurus administrasi. Dua jam kemudian kami meninggalkan RS. Apa penyakitnya? Maaf tidak boleh diungkapkan di sini.
Kembali ke acara HPN, point paling menarik dari sambutan Jokowi adalah tentang perlindungan terhadap Pers Nasional, dari intervensi platform digital luar negeri, yang beroperasi dan mengambil iklan di dalam negeri. Tidak bayar pajak pula, karena aturan mainnya tidak ada.
Dari sambutan presiden itu ada dua hal yang perlu dipisahkan dan direspon secara proporsional. Yang pertama soal perlindungan terhadap pers; perlindungan seperti apa yang akan diberikan pemerintah?
Yang kedua soal pajak. Bagaimana cara pemerintah mengutip pajak dari platform digital yang mengambil iklan di Indonesia? Menkeu Sri Mulyani pasti sudah punya kiat jitu.
Platform digital adalah perkembangan teknologi yang hanya bisa dilawan dengan kemampuan teknologi pula. Kalau tidak bisa menciptakan teknologi yang bisa melawan kecanggihan teknologi digital tersebut, ya tidak bisa dengan cara memblokir sembarangan, semata-mata hanya untuk melindungi pers nasional yang lemah, ringkih dan terengah-engah.
Di mana pun di dunia, tidak pernah ada kepala negara yang menyatakan akan melindungi pers nasionalnya dari serbuan platform digital, yang dengan sukarela dikonsumsi oleh masyarakatnya. Kalau ada pembaca yang tahu, tolong tunjukan.
Lagipula pers mana yang mau dilindungi? Bukankan tidak sedikit pula media massa di Indonesia -- televisi atau media online -- yang memanfaatkan hadirnya platform digital asing itu untuk memperoleh hasil tambahan? Sekarang semua stasiun televisi memasukan potongan-potongan acaranya ke kanal youtube, begitu pula media online yang sudah memasukan liputan audiovisualnya. Banyak yang sudah dimonetisasi, ada iklan, dan mendapat bayaran dari youtube.
Youtube membuka kesempatan bagi siapapun untuk masuk ke dalam kanalnya. Dari seluruh dunia! Youtube tidak pernah menanyakan pendidikan rekanannya.
Kalau masuk kategori general reportase youtube tidak menanyakan apakah pembuatnya berprofesi sebagai wartawan atau bukan; bergabung dalam media yang sudah diverifikasi oleh Dewan Pers atau belum, sudah ikut Uji Kompetensi Wartawan atau belum, dan sebagainya. Youtube tutup mata. Sejauh video yang dimasukan menarik, tidak melanggar aturan yang dibuat, seperti melanggar hak cipta atau mengandung konten kekerasan dan pornografi, silahkan masukan sebanyak-banyaknya. Itupun bisa masuk, hanya ada ketentuannya sendiri. Masyarakatlah yang akan jadi jurinya.
It is not the strongest of that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change (Bukan yang paling kuat yang bisa bertahan, bukan pula yang paling pintar, tetapi mereka yang mampu melakukan perubahan) - Charles Darwin, 1809.
Jadi kalau mau bertahan, jangan melulu minta perlindungan, karena kemampuan dan eksistensi pelindung di dunia juga ada batasnya. Apalagi yang dimintai perlindungan selama ini digebukin terus sama yang minta dilindungi.
Kalau pers mau minta perlindungan presiden, mintalah agar presiden memerintahkan aparat yang ada di bawah kekuasaannya tidak melalukan kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaannya.
Nah kembali kepada kolonialisasi plaform digital, yang terbaik bagi dunia pers adalah menyesuaikan diri, jika tidak mampu melawan. Pers tidak perlu malu belajar kepada Atta Halilintar, Ria Ricis atau Raffi Ahmad, yang mendapat puluhan miliar rupiah dari kanal youtube mereka.
Jangan merasa hebat kalau akhirnya merengek-rengek minta perlindungan pemerintah. Karena teknologi, tidak peduli latar belakang seseorang. Saya dapat informasi, salah satu pembobol rekening bank milik tokoh pers Ilham Bintang, hanya sempat sekolah sampai Kelas 2 SD. Bayangkan orang yang SD saja tidak tamat mampu melakukan itu.
Dunia terus berubah. Ikutlah dalam perubahan itu. Beberapa wartawan mampu mengikuti perubahan, tapi tidak sedikit yang terlindas.
Ilham Bintang adalah salah seorang wartawan yang mampu mengikuti perubahan itu. Ketika industri televisi membutuhkan program alternatif, dia memproduksi infotainmen. Dengan sentuhan jurnalisme yang dikuasainya, Cek & Ricek menjadi infotainment favorit pada masanya.
Mungkin banyak insan pers yang menganggap infotainment bukan produk pers, tapi apa bedanya dengan koran-koran dan majalah hiburan yang pernah tumbuh subur di Indonesia? Media cetak dan majalah-majalah itu bahkan tampil lebih gila. Dunia pers Indonesia sendiri tidak pernah menolak fenomena itu.
Sebagai ikhtiar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kini Ilham Bintang membuat Realita TV sebuah talkshow yang tayang di kanal youtube. Dia tokoh pers, tetapi tidak melawan kemajuan zaman, apalagi merengek.
Kepada pemerintah, yang bisa dilakukan terhadap platform digital adalah membuat aturan untuk menarik pajak, bukan melindungi pers. Buatlah aturan yang bisa menekan platform digital.
Cara Presiden Amerika Donald Trump bisa ditiru. Dia menekan Rusia dengan cara memberi sanksi kepada negara-negara yang membeli senjata dari negara Beruang Merah itu.
Pemerintah tidak boleh gagap!