Berita

LBH Pers Catat Tiga Ancaman Nyata Pekerja Pers di Tengah Pandemi Covid-13

Laporan: Tim Redaksi JMSI
KOMENTAR
post image

Di tengah kondisi pandemi yang masih terlihat belum membaik, di Hari Pers se-Dunia ini LBH Pers mencatat tiga ancaman nyata yang dialami pekerja pers di tengah pandemi.

Pertama, seiring terus meluasnya penyebaran wabah, kondisi perekonomian pun ikut terpuruk. Tidak terkecuali perusahaan media yang juga ikut terkena dampak. Para jurnalis yang mestinya menjadi garda terdepan menjamin informasi yang akurat terkait penyebaran Covid_19 sampai ke publik, juga menghadapi ancaman serius.

Berita Terkait


"Selain virus itu sendiri, mereka juga dihantui bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK), pemotongan gaji, penundaan hingga dirumahkan," kata Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin melalui siaran persnya.

Persoalan ketenagakerjaan seperti PHK sepihak, Upah kerja yang rendah, gaji yang telat dibayar, dan kekerasan fisik sebenarnya sudah menjadi permasalahan serius bagi pekerja media di Indonesia hingga saat ini. Namun pandemi Covid-19 laiknya virus yang memperparah kondisi kesejahtraan jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Ade Wahyudin menyebutkan. posko pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang dibuka LBH Pers dan AJI Jakarta sejak 3 April hingga 2 Mei 2020 telah menerima 61 pengaduan pelanggaran ketenagakerjaan.

"Pengadu tersebar dari 14 media atau grup media yang berkantor di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dengan rincian aduan : 26 orang karena PHK sepihak; 21 orang dirumahkan tanpa gaji atau dengan pemotongan gaji; 11 orang mengalami pemotongan/ penundaan upah atau tunjangan, serta 3 lainnya tak dapat meliput selama pandemi," sebutnya.

Kata dia, maraknya perusahaan media melakukan PHK ataupun pemotongan dan penundaan gaji pekerja, kebanyakan berdalih karena adanya pandemi Covid-19 sebagai force majeur atau keadaan darurat. Namun berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik UU Ketenagakerjaan maupun aturan pelaksanaannya telah mengatur hal tersebut.

Menurut Ade Wahyudin, alasan force majeur tidak dapat serta merta digunakan untuk menghalalkan PHK ataupun pemotongan dan penundaan gaji. Misalnya force majeur sebagai alasan PHK, diatur dalam Pasal 164 ayat (1).

"Pasal ini mensyaratkan, PHK karena alasan force majeur hanya jika perusahaan bersangkutan tutup secara permanen atau tidak lagi beraktifitas," katanya.

Kedua, Selain persoalan ketenagakerjaan yang masih kronis, kasus kekerasan terhadap jurnalis khususnya ketika meliput terkait Covid-19 juga cukup mengkhawatirkan bagi kebebasan pers tahun ini.

Sejak penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non – Alam Penyebaran Covid – 19, sudah terjadi sedikitnya tiga kasus kekerasan terhadap jurnalis.

"Dua diantaranya adalah Pertama dialami dua jurnalis Mohammad Hashemi Rafsanjani dan Dinar saat melakukan peliputan kejadian warga meninggal diduga kelaparan di masa Pandemi Covid-19 di Banten, 20 April lalu. Keduanya menerima perlakukan intimidasi, penghalangan hingga penghapusan hasil liputan," katanya.

Peristiwa kedua dialami jurnalis media daring kabardaerah.com, Sahril Helmi. Dia diduga mengalami tindakan kekerasan oleh oknum kepala desa Busiu, SHM alias Dirman, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, 1 Mei 2020. Tindakan penganiayaan diduga berkaitan dengan pemberitaan yang dilakukan korban mengenai anggaran penanganan Covid-19 di desa tersebut.

Menurut Ade Wahyudin, transparansi informasi menjadi kunci utama penanganan wabah Covid-19, dan jurnalis merupakan instrumen untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi, sehingga ketika ada jurnalis yang memdapat kekerasan karena sedang menjalankan tugasnya memberikan informasi maka sebenarnya dia juga menghambat akses masyarakat terhadap informasi tersebut.

Berdasarkan data Annual Report LBH Pers 2019, tercatat selama 2019 terjadi 79 kasus kekerasan, baik yang dialami jurnalis (75), pers mahasiswa (2) dan narasumber berita (2). Dengan rincian 30 kasus kekerasan fisik, 24 kasus perampasan hingga pengrusakan alat kerja, 22 kasus intimidasi terhadap jurnalis, dan jenis kekerasan lainnya. Maraknya angka kekerasan terhadap jurnalis salah satunya disebabkan masih lemahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis.

Ketiga, Agresifnya DPR RI dan Pemerintah mendorong RUU Cipta Kerja dan RKUHP untuk segera disahkan memperburuk kondisi kebebasan pers. Telah menjadi kecaman publik bahwa kedua rancangan regulasi tersebut memiliki masalah yang cukup serius. Untuk kebebasan pers sendiri, UU Pers menjadi salah satu UU yang direvisi. Dalam perubahan tersebut terdapat upaya Pemerintah mengintervensi pers melalui adanya aturan turunan di bawah UU Pers mengenai sanksi.

UU Pers sendiri sampai saat ini tidak memiliki aturan khusus di bawah UU, karena semangat tidak adanya intervensi dari Pemerintah terhadap pers / Pers mengatur dirinya sendiri dengan dibentuknya lembaga khusus yaitu Dewan Pers.

Sedangkan RKUHP, di dalamnya masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis seperti beberapa pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, berita bohong, contempt of court.

"Atas tiga catatan tersebut, kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan untuk mengawasi pelanggaran ketenagakerjaan di sektor industri pers. Kami juga mendesak Kapolri untuk segera menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis," katanya.

Selain itu, LHB Pers juga mendesak Kemenkumham untuk memghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RKUHP. ‎‎

"DPR RI untuk segera menghentikan dan membatalkan RUU Cipta Kerja dan menghapuskan pasal-pasal bermasalah di RKUHP," katanya.

Selain itu, ‎perusahaan pers juga didesak untuk melakukan musyawarah mufakat dengan pekerja, jika ada hambatan ekonomi serius di dalam perusahaan, sehingga dapat meminimalisir konflik dan menciptakan kepercayaan pada pekerjanya.

‎Kemudian kepada jurnalis juda diminta untuk tetap patuh pada kode etik jurnalistik khususnya dalam melakukan peliputan peristiwa Covid-19. Tetap utamakan keselamatan diri karena tidak ada berita seharga nyawa.

Sumber: AJNN.net

Foto Lainnya

Bertemu JMSI, Wamen Komdigi Ajak Perusahaan Media Siber Sadari Perkembangan AI

Sebelumnya

Bawaslu dan JMSI Nunukan Teken Mou

Berikutnya

Artikel Berita