Marah Sakti Siregar, Anggota Dewan Pakar JMSI
DEWAN Pers membuat catatan merah buat media siber di masa pandemi. Setelah memeriksa dan mengklarifikasi secara daring, Dewan Pers menilai 27 media siber —diantaranya Kompas, CNNIndonesia, VIVA news, tempo, Merdeka, IdnTimes, Kata Data, Tribunnews, Warta Ekonomi, Warta kota, Antaranews, Radio Sonora, Waspada, Fajar, PojokSatu, Akurat, Alinea, Forum Keadilan, Suara Karya, Radar Bogor, Antaranews, Law-Justice dan beberapa media online lainnya— telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Melalui media masing-masing, mereka, pada 3 Juni 2020 telah menyiarkan informasi yang tidak akurat, tanpa proses konfirmasi yang memadai terhadap sumber kunci. Ini berakibat tersiarnya pemberitaan yang cenderung menghakimi. Yakni, menyangkut berita vonis majelis hakim PTUN tanggal 3 Juni 2020.
Sebanyak 33 media siber, secara bervariasi menuliskan di judul atau di tubuh berita mereka bahwa majelis hakim PTUN telah memerintahkan Presiden Jokowi meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia dan rakyat Papua. Itu karena pemerintah melalui Menkominfo Rudiantara, pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2019, telah menerapkan pembatasan akses internet di Papua.
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mengugat tindakan pemerintah itu ke PTUN. Majelis hakim PTUN menerima gugatan itu dan menyatakan "bahwa tergugat 1 dan tergugat 2 (pemerintah) telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya menghukum tergugat 1 dan tergugat 2 membayar biaya perkara sebesar Rp457.000.”
Tapi, setelah vonis, puluhan media siber menyebutkan bahwa majelis hakim memerintahkan Presiden Jokowi harus meminta maaf secara terbuka kepada rakyat. Frasa berita vonis itu — sebelumnya masuk dalam tuntutan penggugat, tapi kemudian dicabut — oleh Ade Armando, dosen Komunikasi UI, dianggap ngawur, tidak akurat, dan bertendensi mendiskreditkan Presiden Jokowi.
Bersama 11 rekannya sesama pendukung Presiden Jokowi, Ade Armando pada 6 Juni 2020, mengirimkan surat pengaduan ke Dewan Pers. Meminta Dewan Pers memeriksa dan “melakukan langkah yang diperlukan” atas pemberitaan tidak akurat tersebut. Mereka mencurigai ada pihak-pihak yang sengaja memancing di air keruh dan memasok informasi yang salah kepada wartawan. Sambil juga menyatakan keprihatinan dan keheranan mereka bahwa banyak media bereputasi tinggi ikut terlibat secara bersama menyiarkan berita yang salah tersebut.
Dewan Pers merespon cepat permintaan hak koreksi Ade dkk. Empat hari setelah pengaduan diterima, kasus itu segera diproses. Pada tanggal 10 dan 11 Juni 2020, Komisi Pengaduan Dewan Pers telah mengundang para wakil media siber untuk klarifikasi via aplikasi Zoom. Setelah itu, dua hari kemudian, pada 13 Juni 2020 Dewan Pers langsung mengumumkan dan merilis keputusannya.
Intinya membenarkan adanya kesalahan pemberitaan oleh puluhan media siber. Namun, tidak seperti yang dicurigai Ade Armando dkk, kesalahan pemberitaan itu, murni karena lemahnya profesionalisme media. Dewan Pers tidak menemukan unsur lain dan politis dalam kesalahan pemberitaan media tersebut. Dan karena sejumlah media sudah melakukan koreksi dan meminta maaf atas kesalahan mereka maka Dewan Pers menganggap kasus itu selesai.
Puaskah Ade Armando dkk?
Dalam dialog webinar, pada, bertajuk: COVID-19 dan Kasus 27 Media Indonesia, yang digelar indonesianlantern.com — media komunitas Indonesia yang terbit di Philadelphia, AS — Ade Armando menyatakan keprihatinan dan ketidakpuasannya. Dia terus terang menyatakan sebenarnya ingin agar Dewan Pers bisa lebih keras. Misalnya, mengecam kesalahan elementer itu — seperti tidak melakukan verifikasi — karena yang melakukannya adalah media siber utama. Bukan media siber kecil atau abal-abal.
“Kalau tidak ada tindakan apa-apa, saya khawatir ini bisa memunculkan perasaan distrust yang makin meluas terhadap media arus utama,” katanya.
Padahal, seperti kata Dimas Supriyanto, mantan wartawan senior Pos Kota, salah satu peserta webinar pada 1 Juli 2020 itu, media utama seperti Kompas dan Tempo selama ini adalah rujukan media papan tengah seperti Pos Kota dan media di daerah. Jangan sampai muncul anggapan gara-gara kasus itu, wartawan media besar arus utama sekarang juga berperilaku sama dengan wartawan amplop. Gampang diarahkan oleh orang yang punya banyak kepentingan di media.
Wahyu Dhyatmika, pemred Majalah Tempo, pembahas lain di webinar yang diprakarsai Didi Prambadi, eks Tempo dan Indah Nuritasari, eks SWA, itu, menyangkal kecurigaan tersebut. “Sepakat dengan Mas Ade bahwa telah terjadi itu kesalahan elementer yang memalukan. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena telah mencoreng nama baik jurnalisme,” tukas pemimpin redaksi, yang biasa dipanggil Bli Komang itu.
Dia amat menyesali kesalahan sepele yang dilakukan redaksi tempo.co dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Tempo katanya, menerima screen shot yang berisi petitum penggugat dari seorang wartawan yang disangka amar putusan dan memuatnya, tanpa verikasi. Ini jelas kesalahan elementer untuk media sekelas Grup Tempo. Tapi, Bli Komang cepat memastikan tidak ada konspirasi di balik pemberitaan yang salah itu.
Sebagai Sekjen AMSI, Bli Komang juga menyatakan organisasinya, akan menjadikan terjadinya chain of mishap (kekeliruan berantai) dalam kasus berita vonis PTUN itu sebagai momentum untuk membenahi serius cara kerja redaksional dan model bisnis media siber. Agar insan media siber tidak terlalu mendewakan kecepatan dan mengabaikan proses verifikasi.
“Publik berhak tahu bagaimana proses media siber merencanakan sebuah berita, memilih angle-nya, bagaimana berita itu dibuat.Termasuk mengetahui siapa pemilik media siber dan bagaimana media itu bisa hidup. Semua perlu transparan, agar publik tidak curiga pada media siber,” tandas Pemred Majalah Tempo itu.
AMSI, katanya, segera akan melakukan koreksi menyeluruh atas pengelolaan redaksi dan model bisnis media siber. Supaya media online yang berada di garis depan dan menjadi wajah jurnalisme media pers itu tidak terus membuat kesalahan elementer yang bisa menggerus kepercayaan publik atas semua media pers.
Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, yang ikut webinar itu juga amat menyayangkan kesalahan elementer berantai yang baru terjadi. Kasus itu telah memukul balik citra media arus utama. Padahal, momentumnya sekarang sedang bagus bagi media konvensional (media lama, arus utama) untuk merebut lagi hati dan perhatian publik yang selama ini dibetot oleh media sosial. Medsos belakangan ini, kata Agus Sudibyo, banyak dikecam publik. Antara lain, karena informasinya yang makin disesaki hoaks, ujaran kebencian, rasisme dan memecah belah masyarakat.
Di AS sejumlah pengiklan besar seperti Unilever, Starbucks dll, sedang memboikot Facebook, Youtube, Instagram karena abai atas konten yang disiarkannya dengan tagar #StopHateForProfit. Sebab, sejumlah konten yang disiarkan oleh medsos itu merugikan dan mengganggu publik. “Momentum sebenarnya mulai terjadi. Publik mulai meninggalkan medsos dan mencari kebenaran di media lama dengan jurnalistiknya,” ujar Agus Sudibyo.
Dia berharap insan media lama terus menjaga kiprah jurnalistik. “Kalau itu bisa dilakukan terus, maka disrupsi total yang selama didengungkan akan terjadi, di mana media lama akan dihabisi media baru, tidak akan terjadi. Sebaliknya malah akan terjadi new equilibrium. Keseimbangan baru. Media lama akan bangkit mengimbangi media baru”, jelas Agus Sudibyo. Prasyarat untuk itu: mutu jurnalistiknya harus bisa terus terjaga secara konstan.