Oleh: Herman Batin Mangku, Plt. Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Lampung
KETIKA dimulainya rencana Pilkada Serentak 2020, partai-partai besar sesumbar dengan penuh percaya diri akan mencalonkan kadernya.
Tak cukup sampai di situ, para petinggi partainya–masih dengan percaya diri–berteriak partainya tanpa mahar. Ditambah embel-embel, demi rakyat.
Seiring berjalannya waktu, mulai lirik kanan-kiri calon kepala daerah yang ingin merapat sambil mengintip isi kantongnya, tak peduli kader partai mana.
Bagaimana bisa menang bertempur jika tak punya “amunisi”? Suaranya tetap meyakinkan sambil mengangkat bahu dan kedua telapak tangan menghadap ke atas.
Solusinya, jika kader yang ingin maju kebetulan masih bokek, dipertimbangkan jika bisa mencari calon wakilnya yang tajir melintir tak peduli track record-nya.
Jika kadernya berpasangan dengan yang bokek juga, mohon maaf. Sosialisasi itu perlu miliaran rupiah. Itu belum termasuk mahar berbulu domba, “emberan” juga.
Itupun, dukungan partai dicicil, pertama surat tugas dulu baru kemudian rekomendasi. Rekomendasi ada speknya lagi, spek tertinggi rekom mendaftar ke KPU.
Pokoknya, tak usah pura-pura heran, Si Panjul dapat surat tugas, Si Bedul yang akhirnya mengantongi rekom, walau Si Panjul kader partainya sendiri dan Si Bedul kader partai tetangga.
Rekom sekalipun, masih bisa berubah di ujung-ujung pendaftaran dengan pertimbangan dinamika politik, sampai alasan ina inu, pokoknya terserah jidatnyalah.
Soal mahar berbulu domba toh tinggal dikembalikan kepada calon sebelumnya. Mau protes?
Soal syarat popularitas dan elektabilitas, seenak jidatnya bisa dimaklumi juga. Alasannya, bisa didongkrak dengan bikin acara bertabur hadiah, tebar sembako, jangan lupa salam tempelnya.
Kriteria awalnya kader partai, tanpa mahar, popularitas dan elektabilitas tinggi, ternyata bisa pula seenak jidatnya berubah karena faktor kedekatan keluarga dan kerabat.
Seorang pimpinan partai, hasil survey anjlok, pileg saja gagal, bisa mengantongi rekomendasi karena pimpinan partainya masih ada hubungan darah.
Ada lagi, walau masih bocah, karena anak penguasa, jalan tol kantongi rekom partai. Biar makin mulus, pasang lawannya boneka bila perlu kotak kosong saja.
Ketika sosialisasi, tak kalah seenak jidatnya. Jika kebetulan sang calon incumbent, programnya bisa mendadak tebar pesona: bagi-bagi bantuan.
Bahkan, dengan masih berseragam lengkap dengan “jengkolnya”, sang incumbent cuek bagi-bagi sembako yang ditempel stiker pencalonannya.
Aparat desa, kelurahan, serta perangkat desa yang mempertanyakan, dengan seenak jidatnya, sang incumbent balik membentak sang anak buahnya.
Lurah-lurah tak kalah galak dengan bakal calon kepala daerah kompetitor pimpinannya. Sampai-sampai, lurah ke rumah saya mengantarkan bukti pembayaran PBB yang digratiskan pimpinanya.
Mereka juga ingin membuktikan loyalitasnya terhadap pimpinannya yang lebih tinggi walau risikonya jika lawannya yang menang karirnya masuk kotak. Tapi, jika menang, karir berpeluang moncer.
Seenak jidatnya juga, ketika isteri pimpinannya yang sosialisasi bagi-bagi sembako, lurah malah ikut mengawalnya. Dipanggil Bawaslu, masalahnya clear dengan alasan ina-inu.
Di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, mata dan telinga Bawaslunya yang lumayan awas. ASN yang coba-coba condong ke salah satu calon langsung kena semprit.
Tapi, kabupaten/kota lainnya, nyaris tak terdengar fungsi pengawasannya. Jika didesak sikapnya, mereka beralasan belum masuk masa kampanye atau belum ada laporan.
Pilkada Serentak 2020 masih lima bulan lagi, kemungkinan, kita akan semakin banyak disuguhi tontotan orang-orang yang seenak jidatnya untuk menang pilkada.
Seorang politikus senior bilang sambil nyengir jika dagang itu soal untung-rugi, hukum tentang benar-salah, sedangkan politik adalah menang-kalah.
Ketika ketiganya (dagang, hukum, dan politik) beririsan, warnanya tak murni lagi, tak lagi CMYK, tapi sudah cendrung lebih gelap, abu-abu, terkesan lebih kotor.
Jangankan etika, aturan main saja bisa dihadapi seenak jidatnya. Soal sosialisasi pakai seragam ASN, bisa saja pakai alasan jam istirahat, tak sempat ganti baju, bla bla.
Soal kerumunan yang dilarang masa pandemi Covid-19, ternyata boleh 30 orang. Jangan-jangan, bila ada 100 orang, ramai-ramai bilang mereka datang kesadaran sendiri.
Berdasarkan Indeks Demokrasi 2019 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia masuk kategori demokrasi cacat, peringkat ke-64 dari 167 negara, lebih jelek dari Timor (41) dan Malaysia (43).
Pascareformasi sekian tahun ternyata malah membentuk dinasti era post-truth. Sebuah era di mana kebenaran hanya yang ingin didengarkan, bukan kenyataan apa adanya.
Partai politik terjebak mahalnya biaya politik. Akibatnya, transaksi hak publik menjadi seperti kewajaran. Perlu perbaikan sistem kepartaian, pola rekrutmen dan menekan biaya dalam pemilu.
Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu era reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional.
Biaya pemilu yang tinggi berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih berkepentingan mengembalikan modal.
Penelitian Edi Rohaedi dan R. Muhammad Mihradi (The Practices of Licence and Politics of Local Leader Election In Indonesia, American Journal of Humanities and Social Sciences Research, Vol.03-Issue 09, pp122-127), pilkada yang mahal melahirkan penyimpangan dampak praktik cukong pra dan pascapilkada.
Semua pihak harus mendorong penyelamatan demokratisasi dengan menjauhkan partai politik dan pemilu dari politik uang dengan syarat partainya sederhana dan pemilunya berbiaya murah.
Maaf, dalam tulisan ini, saya juga seenak jidat, sambil tepok jidat tak menyebutkan partai dan nama-nama orang. Maklum, semakin mendekati pilkada, gesekan mulai menimbulkan sensitivitasnya.
Saya gak mau jidat saya ditunjuk orang-orang yang seenak jidatnya apalagi sambil bilang: nulis yang benar, jika tidak innalilahiwainalilahirojiun.
Terimakasih, tabikpun.
Sumber: RMOL Lampung