“Kebijakan injak gas dan rem” yang diterapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menghadapi dan menangani pandemi Covid-19 kembali mendapat kritik.
Kebijakan itu didorong keinginan untuk “menyelamatkan” perekonomian nasional di tengah krisis kesehatan.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Didik J Rachbini, menilai pemerintah telah kehilangan momentum untuk memulihkan kondisi ekonomi yang terjun akibat penangan Covid-19 yang tidak pas.
"Ini kegagalan manajemen kepemimpinan. Negara yang lain selesai, (misalnya) China, Taiwan, New Zealand. Kita tidak tahu sampai kapan (selesai). Jadi ini tidak boleh main-main," ujar Didik di webinar "Bersatu Melawan Covid-19" yang diselengagrakan dalam rangka HUT ke-1 Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dan Hari Pers Nasional (HPN) 2021 secara virtual, Senin (8/2).
Didik menyebutkan, kasus harian di negara lain mulai mengalami penurunan. Sementara sebaliknya, Indonesia masih mengalami peningkatan pada kasus hingga awal tahun 2021 ini.
Menurut Didik, selama jurus penanganan Covid-19 yang diterapkan pemerintah kurang pas, selama itu pula imbasnya akan membuat situasi ekonomi semakin sulit. Ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi minus 2,07 persen.
"Tantangan di 2021 lebih besar, karena akan ada varian Covid yang lebih berat lagi," ucapnya.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menyoroti penerapan kebijakan New Normal atau Adaptasi Kebiasan Baru di masa pandemi. Menurutnya, hal iitu tidak diterapkan pemerintah.
Pasalnya, dari data harian penambahan kasus Covid-19 Indonesia belum layak menerapkan kebijakan tersebut, padahal belum tercipta herd immunity atau kekebalan komunal.
Dari kebijakan ini pun, Didik menduga pemerintah masih memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional ketimbang persoalan kesehatan yang utama.
“Karena pemerintah ngotot (mengutamakan penyelamatan ekonomi) kita kehilangan momentum," demikian Didik J Rachbini.