Kehadiran media sosial (medsos) di tengah perkembangan teknologi menjadi satu diskursus penting dalam kaitannya dengan eksistensi media massa di Indonesia saat ini.
Pasalnya, kini publik sudah bebas menyampaikan aspirasinya melalui akun medsos pribadi yang dibuatnya dengan beragam konten yang disajikan.
Namun hal ini turut disoroti Dewan Pers, mengingat banyak konten yang menampilkan kemiripan dengan aktivitas jurnalistik namun tidak mengunakan kode etik jurnalistik yang diatur di dalam UU 40/1999.
"Di satu pihak kita bersyukur, karena dengan adanya media sosial kita mendapatkan channel yang begitu banyak untuk mendapat informasi. Itu artinya baik untuk memfasilitasi kebebasan publik untuk berkespresi," ujar Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Arif Zulkifli dalam Webinar Dewan Pers bertajuk 'Fenomena Baru Dunia Digital Dalam Kacamata UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik', Kamis (15/4).
"Tapi di lain pihak, kita juga berhadapan dengan persoalan-persoalan di mana praktek-praktek jurnalisme di dalam media sosial itu bertentangan dengan kode etik," sambungnya.
Dari segi kegiatan, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini mengkategorisasi praktek jurnalisme di medsos menjadi 3 kategori jika melihat dari sisi pelakunya. Misalnya yang pertama adalah penggunaan media sosial sebagai kepanjangan tangan media mainstream atau media yang masuk ke kategori pers.
"Rasanya hampir semua media mainstream punya di semua kanal, baik Youtube, Facebook, Twitter. Dan pengikutnya besar. Misal Youtubenya Kompas.com sampai 8,87 juta. Jadi gede sekali," tuturnya.
Kemudian kategori kedua adalah para wartawan yang sebelumnya bekerja di media mainstream namun belakangan hijrah atau memilih media sosial sebagai kanal aktivitas jurnalistiknya.
"Saya mau kasih contoh Bang Karni Ilyas, yang dulu di ILC sekarang punya Karni Ilyas Club," kata sosok yang kerap disapa Azul ini.
Kedua kategori ini, menurut Azul memiliki kompetensi jurnalistik sehingga produk yang dihasilkan masih mengacu pada kode etik jurnalistik yang diatur di dalam Undang-undang (UU) Pers.
Namun untuk kategori yang terakhir atau yang ketiga ini justru dia nilai menimbulkan satu problem dalam kegiatan jurnalistik di media sosial. Yakni mereka-meraka yang tidak punya pengalaman jurnalistik, yang secara otomatis tidak menjadikan kode etik jurnalistik sebagai rujukan.
Azul memberikan contoh kasus dari problem yang ditimbulkan oleh kategori ini. Di mana, sebuah konten wawancara yang dibuat musisi Anji Drive bersama dengan Hadi Pranoto soal obat antibodi virus Covid-19.
"Dalam konteks ini saya kira unsur etika jadi penting. Apakah kita bisa mempercayai kredibilitas narasumber yang diangkat dalam sebuah wawancara khusus, atau kah kita punya fairnees untuk mengimbangi berita yang belakangan diketahui salah, dan Anji-nya diproses secara hukum, itu juga tidak dijalankan," papar Azul.
"Nah, saya kira problem di sini. Saya kira mereka tidak memenuhi syarat-syarat sebagai pers, sehingga yang dipakai bukan UU 40. Tapi yaitu KUHP dan ITE yang ancamannya hukuman badan," tandasnya.