“PERS tidak akan pernah mati. Itulah kekuatan terbesarnya tetapi juga menjadi kelemahan terbesarnya." (Henry Grunwald, Figure Time Magazine, Editor-In Chief, Managing Director)
Satu hal penting dan mendasar yang kini kita hadapi: dunia sudah berubah dan membawa aturan baru. Namun, banyak wartawan tidak mengerti bahwa dunia ini punya aturan main baru. Yang mengerti aturan mainnya akan cepat beradaptasi, sedangkan yang tidak mengerti, pasti akan kesulitan beradaptasi. Yang terburuk, karena tidak mengetahui aturan main itu menyebabkan bertahan saja untuk sekadar mengerti beradaptasi akan berdampak stres.
Media baru, rumpun media sosial yang membawa aturan baru itu yang membuyarkan tatanan dan corong informasi, sebenarnya bukanlah kiamat bagi wartawan dan pers.
Dua malam lalu, teman sejawat, wartawan senior, memantik kembali diskusi dengan topik itu. Dia amat terganggu oleh tren di media sosial yang seakan merampas hak wartawan mengelola informasi kepada publik. Ini beberapa pernyataannya yang memprotes keadaan.
(1) Media konvensional bekerja dengan regulasi ketat. TV ada KPI. Media cetak ada Dewan Pers. Sedang podcast ( YouTube) bebas merdeka. Suka-suka asalkan audiens suka.
(2) Media bekerja dengan standar tinggi. Podcast sekadar mengandalkan bakat yang dipadu dengan selera audiens.
(3) Podcast banyak yang ambil konten media konvensional. Hanya sedikit yang melakukan sebaliknya. Media saya tak mau mengutip Podcast. Saya larang keras.
(4) Podcast biaya murah dapat banyak Iklan. Media konvensional biaya mahal iklan kadang tak mampu tutup ongkos.
Saya bisa merasakan kepedihan sejawat itu.
Sesuai UU Pers 40/1999, wartawan memang memiliki hak menyebarkan informasi, membentuk pendapat umum dan kontrol sosial. Berhak meragukan atau memferivikasi informasi dari mana pun sumbernya, termasuk dari presiden. Sebelum menyajikan ke publik. Yang dikecualikan, tentu hanya Tuhan dan Nabi.
Benar. Kawan, wartawan senior itu, benar.
Yang keliru, anggapan hak itu hanya monopoli wartawan yang sudah mendapat sertifikat kompetensi wartawan dari Dewan Pers. Yang menyalurkan beritanya melalui media cetak dan elektronik.
Padahal, secara filosofis, informasi sesungguhnya adalah milik rakyat. Keterkaitan wartawan dengan hak yang disebut, itu lebih karena profesinya. UU Pers No 40/1999 juga mengakui hak masyarakat luas. Posisinya tegas. Lebih tinggi derajatnya: Hak Berpartisipasi dan Hak Koreksi. (Pasal 17 UU Pers).
Salurannya, sudah jelas pula di dalam UU Pers. Tidak hanya melalui media cetak dan elektronik, tetapi juga dengan segala saluran yang tersedia (Pasal 1 UU Pers). Media sosial salah satu saluran itu. Ribuan tokoh di Indonesia sudah menggunakan medsos untuk menyampaikan informasi dan gagasan. Hampir seluruh pejabat publik, menteri, dan bahkan Presiden Jokowi aktif menggunakan akun medsosnya yang punya pengikut puluhan juta.
Bagaimana dengan pertanggungjawabannya?
Sumber hukum media sosial banyak. Salah satunya, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang digunakan aparat melakukan pengawasan di media sosial.
Hasil revisi UU ITE bulan Juni lalu, memang telah menghilangkan pasal-pasal karet yang multi tafsir, yang meresahkan masyarakat. Tapi ada satu hal yang penting diketahui wartawan. Bukan hanya masyarakat, tetapi individu wartawan sendiri pun akan berhadapan dengan sanski UU ITE itu jika konten digitalnya bermasalah.
Deddy Corbouzier dan Refly Harun yang produktif di YouTube sama derajatnya dengan dedengkot wartawan Indonesia seperti Karni Ilyas dan Najwa Shihab di YouTube. Atau wartawan dan budayawan Goenawan Mohammad, Menkopolhukan Mahfud MD, pengamat politik Rocky Gerung, Muhammad Said Said Didu sama setara dengan YouTubers dari wartawan seperti Harsubeno Arif (FNN), dan Rahma Sarita (RealitaTV) di mata hukum.
Uji Materi Ditolak MK
Kawan wartawan senior yang disebut di awal, memang tidak sendiri dan bukan yang pertama yang masgul terhadap rumpun media sosial. Sebelumnya, tahun lalu, pengusaha media Hary Tanoe juga terganggu. Melalui media televisi RCTI dan Inews miliknya, ia menyuarakan dan bahkan menggugat itu di Mahkawah Konstitusi. Hary Tanoe meminta rumpun medsos, seperti YouTube, Netflix dan platform Over The Top (OTT) dimasukkan dalam pengawasan UU Penyiaran 32/2002. Namun, gugatan itu telah ditolak MA awal tahun ini.
MK menilai tak diaturnya layanan OTT seperti YouTube hingga Netflix di UU Penyiaran bukan berarti layanan OTT memiliki kekosongan hukum.
Sebab penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT telah ditentukan di berbagai UU seperti UU ITE, UU Pornografi, UU Hak Cipta, UU Perdagangan, KUHP, dan UU Pers.
Khusus di UU ITE, kata MK, telah diatur mekanisme pengawasan terhadap konten layanan OTT agar tetap sejalan dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Kementerian Kominfo memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (konten internet) yang muatannya melanggar hukum.
Dalam diskusi itu, ada kawan menyatakan sikap tegasnya. Tidak akan menjadikan konten digital di YouTube sebagai referensi pemberitaan di medianya. Itu tentu menjadi hak yang bersangkutan. Sebenarnya, di masa lalu, wartawan pun tabu mengutip suatu berita dari sesama media pers. Bahkan ada konsensus, satu media menolak menyiarkan hak jawab satu pihak untuk satu berita di lain media.
Soal Subsidi ke Media Mainstream
Pandangan seperti itu sebenarnya sudah berkali-kali saya utarakan. Baik di dalam internal, seminar dan artikel, juga baru-baru ini dalam rapat pengurus PWI.
Awal tahun, tidak lama setelah keputusan MK, rapat pleno PWI Pusat, selain mengupdate persiapan peringatan HPN 2021. Ketua Umum PWI Atal Depari menyodorkan topik serupa, terkait kondisi pers yang memprihatinkan dewasa ini.
Atal dan beberapa teman menginginkan supaya negara hadir melalui subsidi pemerintah kepada media mainstream yang tengah terpuruk akibat disrupsi. Secara tegas pakar komunikasi DR Edward Depari menyatakan perjalanan bangsa bisa berbahaya jika media mainstream yang bekerja secara professional dengan menerapkan prinsip kerja jurnalistik secara professional dibiarkan mati satu persatu, digantikan oleh media sosial. Ada beberapa yang saya setuju dari pendapat itu, tetapi ada juga yang tidak.
UU Pers no 40/1999 sudah menutup pintu keterlibatan pemerintah mengatur kehidupan pers. Itu sudah menjadi komitmen insan pers pasca reformasi untuk mencegah terulangnya kooptasi pers seperti zaman Orde Baru maupun Orde Lama.
Saya menguraikan profil UU Pers 40/99 yang sudah dirancang sedemikian rupa: negara mengembalikan urusan pers kepada orang pers untuk mengatur dunia mereka sendiri.
Berbeda dengan UU Pokok Pers sebelumnya, dimana pengoperasiannya memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen (Peraturan Menteri teknis) yang di masa Orde Baru menjadi celah pemerintah mengkooptasi pers. Bantuan pemerintah sebesar apapun tidak akan mungkin gratis, seperti kata ungkapan “tidak ada makan siang gratis”.
Saya sudah menulis beberapa artikel yang menyanggah pendapat pers dan kewartawanan akan mati dikalahkan oleh nitizen dan media sosial.
Saya ulangi, media memang bisa mati tapi pers tidak akan pernah mati. Demikian juga wartawannya, never die. Apa yang terjadi sekarang adalah fenomena disrupsi atau shifting dari platform cetak dan broadcasting ke media digital. Artinya, medianya yang mati, digantikan oleh platform baru, yaitu media digital.
Sudah beberapa tahun lewat saya mengamati keadaan disrupsi itu dan sudah mewanti- wanti jajaran redaksi di kantor media kami. Sebagai pelaku, saya menyaksikan sendiri sebagian program televisi dan tabloid kami mengalami penururan pemirsa dan pembaca cukup signifikan. Padahal, rasanya baru saja , program dan tabloid itu menyita perhatian publik, penayangan dan penerbitannya selalu ditunggu.
Awas! Saya katakan kepada jajaran internal redaksi, Anda tidak bisa berlaku biasa-biasa saja. Segera berubah. Masyarakat sudah mengambil jalannya sendiri untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhannya. Mereka sudah mual membaca berita yang dirumuskan secara sepihak oleh redaktur sambil ongkang- ongkang kaki. Bahkan, sebagian masyarakat kini sudah mencoba memproduksi sendiri konten-konten digital yang menarik.
Di dunia hiburan muncul raksasa YouTubers seperti Rahfi Ahmad, Baim Wong, Andre Tolany, untuk menyebut beberapa nama. Rezeki mereka berlimpah ruah dari media baru itu.
Pada tanggal 8 Februari 2020 di sela-sela perayaan Hari Pers Nasional (HPN) di Banjamasin, saya diminta bicara pada pengukuhan organisasi Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) yang dipimpin wartawan senior Teguh Santosa. Keresesahannya sama, tentang nasib pers dan wartawan.
Saya mengatakan, sebagai wartawan justru saya belum pernah merasakan nikmat seperti sekarang. Media sosial menyediakan halaman seluas samudera untuk kita isi dengan konten digital.
Karya jurnalistik tentu saja termasuk di dalamnya. Seluruh perangkat kerjanya berada di satu tangan, satu smartphone saja cukup. Mesin itu tidak mengenal jam kerja dan deadline. Tengah malam ada ide tinggal salurkan, begitupun waktu bangun subuh. Tidak ada birokrasi panjang seperti di media cetak maupun broadcasting. Bahwa, kita belum memahami bisnisnya, itu hal lain. Hanya persoalan waktu karena platform ini memang baru.
Wartawan pendahulu kita juga dulu begitu ketika menerbitkan surat kabar di awal-awal. Lama baru ketemu kiatnya, ketemu bisnisnya. Perhatikan saja koran-koran jaman dulu, belum banyak iklan sehingga fokus pada karya jurnalistik yang sarat dengan semangat perjuangan. Tidak ada beban. Rasanya mereka juga belum mengenal gaji.
Dalam diskusi di forum Pengurus PWI Pusat, saya minta ditunjukkan media mainstream mana saja di Indonesia yang tidak membuat versi digital dari penerbitannya? Bahwa baru satu dua berhasil mendapatkan koin, sekali lagi itu semata soal waktu. Surat kabar cetak Koran Tempo tutup 1 Januari 2021. Tapi bersamaan mereka terbitkan versi digitalnya, tinggal melangganinya saja. Murah dan praktis. Sebelum itu Kompas dan Majalah Tempo juga sudah melakukan hal sama.
Media mainstream mana yang mau disubsidi? Sementara kita tahu 90 persen media mainstream dimiliki para konglomerat. Suara Pembaharuan (cetak) menyusul tutup 1 Februari tahun 2021.
Ini bukti baik, penerbitnya bergelimang uang pun menyerah. Artinya, bukan karena persoalan modal yang membuat media cetak mati. James Ryadi pemilik Suara Pembaruan tentu telah menyadari percuma membakar-bakar uang, melawan arus deras digitalisasi sekarang. Malah kita heran kalau dia masih mempertahankan medianya yang lain. Tentu James menyadari mainset publik pembaca sudah berubah.
Membaca berita media dalam versi cetak saat ini buat sebagian orang seperti mengunyah daun sirih, begitu jadulnya. Apalagi kalau isinya, standar saja. Kebanyakan siaran pers pemerintah, berisi pesan-pesan kekuasaan. Secara terselubung maupun terang-terangan. Masyarakat penonton dan pembaca sudah sangat praktis, menonton film dan menonton berita pun lewat ponselnya.
Suatu pagi, Peter F Gontha menelpon, membawa topik sama untuk dibahas.
“Dulu kita beli barang melalui online kita sabar menunggu sebulan. Makin maju, paling tahan kita menunggu seminggu, dan sekarang kita hanya mau menunggu sekian jam. Satu dua tahun lagi, barang yang menjadi kesukaan kita tiba-tiba akan muncul di depan pintu, sebelum diorder.”
Lalu dia cerita tentang tehnologi AI — Artificial Intelligence — atau "kecerdasan buatan" yang sudah di depan mata.
Satu jam kami ngobrol. Dia menawarkan kerjasama untuk membuat tv platform baru.
“Semua koran akan mati, televisi juga, bahkan detik pun tidak sedigdaya dulu karena pesaing bermunculan,” kuncinya.
Sehari sebelum itu saya juga diskusi dengan Bung Fachry Muhammad, praktisi radio yang sukses. Dia menyambung topik sama. Dia juga mengeluh.
Pers dan wartawan never die. Saya kembali bilang lagi begitu. Secara sederhana saya contohkan, wartawan itu ibarat penyanyi senior yang mengalami penggantian platform dari piringan hitam, kaset, CD, dan entah apa lagi tehnologinya yang berkembang sekarang dan yang akan datang. Toh perkembangan tehnologi itu tidak mengebiri bakatnya, keindahan vokalnya, tidak juga membuat rusak ekonominya. Ayolah berubah, ayolah cepat beradaptasi.
Tapi, itu dia: sayang sekali, banyak kawan wartawan masih terbuai fatamorgana. Merasa hanya di media konvensional kebenaran dan keadilan bisa disuarakan, diperjuangkan.
Sampai ada yang sudah puluhan tahun medianya tutup, dan praktis semenjak itu pula tidak lagi menulis apapun, tetapi secara gagah mengaku wartawan, mengantongi kartu pers dan bahkan duduk sebagai pengurus organisasi wartawan berperiode-periode.
Disrupsi media lalu menjadi alasan barunya mengutuki keterpurukan media.
Ayo, bangkit kawan. Dengar Wilson Churchill: “Daripada terus menerus mengutuki kegelapan, lebih baik mulai nyalakan lilin.”
Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.