Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian dunia usaha saat ini adalah aspek techno-commercial yang tengah dirancang PT PLN (Persero).
Aspek techno-commercial ini diharapkan tidak sekadar mengejar penetrasi energi baru terbarukan (EBT) sehingga dapat membuat harga listrik EBT menjadi terlalu tinggi.
Demikian disampaikan Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Muhammad Yusrizki, ketika berbicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang membahas Program De-Dieselisasi yang direncanakan PLN, di kantor KADIN, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (15/2).
Sampai tahun 2020, PLN masih memiliki 5.200 unit PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia. Menurut data PLN, konsumsi BBM yang diperlukan di tahun 2020 untuk PLTD ini mencapai 2,7 juta kiloliter, dengan estimasi biaya mencapai Rp 16 triliun.
Adapun Rancangan Program De-Dieselisasi selain untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, juga untuk menekan konsumsi BBM. Artinya ini juga akan menekan impor energi Indonesia.
PLN merencanakan akan melakukan konversi PLTD ke pembangkit EBT dengan total kapasitas pembangkit PLTD sampai dengan 499 MW. Pada tahap pertama yang akan dimulai oleh PLN dalam waktu dekat, total kapasitas PLTD yang akan dikonversi mencapai 250MW. Sementara tahap kedua, yang masih dalam kajian PLN, kapasitas PLTD yang akan dikonversi sebesar 249MW.
“Kepentingan FGD ini untuk mempertemukan PLN, sebagai pemilik proyek, dan dunia usaha yang nantinya akan menjadi investor bagi program De-Dieselisasi PLN. Salah satu yang menjadi fokus perhatian dunia usaha adalah aspek techno-commercial yang akan dirancang oleh PLN, jangan sampai untuk alasan mengejar penetrasi EBT yang tinggi akhirnya membuat harga listrik EBT akan menjadi terlalu tinggi,” ujar Yusrizki.
Terkait aspek techno-commercial, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan pendapat mereka bahwa sesuai perhitungan AESI, pembagian antara PLTD dengan pembangkit EBT adalah 50 persen, dimana pembangkit EBT beroperasi 50 persen dari jam operasional PLN.
Pembagian 50 persen ini memberikan penghematan biaya penyediaan listrik yang paling optimal bagi PLN. Di sisi pengembang pembagian 50 persen memberikan keluasaan dalam merancang ukuran kapasitas PLTS dan battery untuk dapat memberikan performa terbaik dari pembangkit EBT.
PLN juga menyatakan bahwa untuk mendorong kompetisi dan inovasi, pada proses pengadaan pembangkit EBT terkait De-Dieselisasi PLN tidak akan membatasi teknologi PLTS maupun battery.
Dengan tidak dikuncinya teknologi, terutama battery, memberikan ruang bagi pengembang untuk membawa teknologi-teknologi baru tidak terbatas pada teknologi battery VLRA ataupun lithium, tetapi juga teknologi baru seperti Vanadium Redox Flow Battery (VRFB) yang berkembang menjadi salah satu alternatif bagi battery skala besar.
Menjembatani Komunikasi
Sementara Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Wiluyo Kusdwiharto, dalam kesempatan yang sama berharap KADIN dapat menjembatani komunikasi dengan Kementerian Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN, khususnya dalam konteks program De-Dieselisasi. Terkait peraturan TKDN, baik PLN dan KADIN disampaikannya telah menyatakan bahwa industri nasional tidak boleh hanya menjadi penonton.
“Ketentuan TKDN yang ada saat ini tidak perlu dihilangkan, kita dukung industri nasional, tetapi PLN berharap KADIN dapat menjembatani diskusi dengan Kementrian Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN terutama dalam konteks program De-Dieselisasi ini,” demikian dikatakan Wiluyo Kusdwiharto dalam diskusi.
Sementara Yusrizki meyakinkan KADIN mendukung industri nasional sekaligus harus realistis. Menurutnya saat ini pabrikan lokal mampu memberikan TKDN hingga 40 sampai 42 persen. Sementara jika mengikuti Peraturan Menteri Perindustrian, per 2022 ini komponen TKDN untuk panel surya harus 60 persen.
“Sebaiknya kita tidak berdebat apakah 40 persen, 50 persen, atau 60 persen secara regulasi, tetapi mari kita sesuaikan regulasi itu dengan realitas yang ada, lalu bersama-sama kita cari jalan untuk meningkatkan TKDN dan nilai tambah domestik. Program De-Dieselisasi ini memberikan jalan untuk pasar PLTS yang besar di Indonesia dan regulasi, tidak hanya ketenagalistrikan tetapi juga regulasi industri, sudah seharusnya mendukung dan memberikan jalan bagi program PLN,” tambah Yusrizki.
Dalam keterangan penutupnya, Yusrizki menekankan bahwa Program De-Dieselisasi PLN telah menjadi sorotan publik, tidak hanya domestik tetapi juga internasional.
“Program De-Dieselisasi ini merupakan program EBT pertama dalam beberapa tahun dengan kapasitas yang masif dan memiliki kepentingan nasional yang sangat kuat. Oleh karena itu KADIN mengajak PLN dan dunia usaha untuk bersama-sama mengawal aspek-aspek techno-commercial sehingga inisiatif PLN ini menjadi inisiatif yang feasible dan terutama investable,” tutup Yusrizki.