Manajer Kemitraan The Aceh Institute, Muazzinah menilai peran media Siber sangat penting untuk mendorong pemerintah, guna mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di provinsi ujung barat Sumatera.
Hal itu disampaikannya, saat menjadi narasumber dalam acara Media Briefing, Peran Media Siber Dalam Penegakan KTR yang Komprehensif di Aceh, Selasa (8/3/2022).
Acara tersebut, merupakan kerjasama antara The Aceh Institute dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Aceh.
Muazzinah menerangkan, saat ini Aceh telah memiliki regulasi berupa Qanun/Perda Nomor 4 tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun, sejauh ini aturan tersebut belum di sosialisasikan secara optimal, dan juga produk turunan berupa Peraturan Gubernur (pergub) sebagai operasionalisasi di lapangan belum ada.
Sebab itu, katanya, media siber harus berperan guna mendorong pemerintah Aceh untuk mengimplementasikan Qanun itu, agar KTR dapat diwujudkan.
KTR sendiri, katanya lagi, bukan produk hukum yang melarang orang merokok, namun itu adalah bentuk memproteksi warga yang tidak merokok.
Terbentuknya KTR sangat penting guna melindungi perempuan dan anak-anak dari bahaya rokok.
Saat ini saja, kantor pelayanan publik, baik itu milik pemerintah, BUMN dan swasta di Aceh, belum secara konsisten menerapkan aturan tersebut. Karenanya penting bagi semua pihak, terutama media siber untuk mensosialisasikan aturan yang ada, dan kampanye pentingnya KTR di wujudkan.
Acara yang dilangsungkan di Kopi Anda Banda Aceh itu, dihadiri oleh sejumlah pengurus JMSI Aceh, dan juga Project Manager Heru Syahputra, dan bertindak selaku moderator diskusi, Hendro Saky, Ketua JMSI Aceh.
Muazzinah melanjutkan, dari data Kementrian Kesehatan RI, terdapat 1,2 juta penduduk Aceh yang merupakan perokok berat, jumlah itu setara dengan 20 persen jumlah masyarakat di daerah ini. Kemudian pengeluaran warga belanja rokok di provinsi ini mencapai Rp7,2 triliun pertahunnya.
Mirisnya, pendapatan dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCT) untuk Aceh itu sangat minim, sebagai daerah ini bukan penghasil dan produsen rokok.
“Prinsipnya, KTR ini memproteksi dan melindungi orang-orang yang bukan perokok,” tukasnya.
Sementara itu, narasumber lainnya, Azhari yang merupakan Ketua Dewan Pembina JMSI Aceh, dalam paparannya ia menerangkan perihal lemahnya komitmen pemerintah Aceh dalam mewujudkan KTR.
Dia menegaskan, keberadaan Qanun/Perda KTR yang dilahirkan pada 2020 lalu, sama sekali belum berjalan efektif dan maksimal.
Hal itu, ujarnya lagi, ditandai dengan masih bebasnya aktivitas para perokok di kantor-kantor pemerintah Aceh.
Seharusnya, pemerintah yanng melahirkan aturan itu, sudah sepantasnya memberikan contoh terlebih dahulu.
Project Manager Heru Saputra menambahkan, saat ini dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, hanya Kota Banda Aceh yang efektif dalam menerapkan aturan KTR. Dan juga terdapat tiga daerah, yakni Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Tamiang yang belum memiliki perda tentang KTR.
Untuk itu, ia mengharapkan media dapat berperan dalam menyeimbangkan pemberitaan, dengan menyebarluaskan, dan mendesiminasikan aturan tentang KTR di Aceh.
“Tujuan KTR ini untuk ciptakan Aceh lebih sehat, dan juga pengendalian asap rokok di ruang publik,” katanya.