Pengukuhan Pengurus Daerah Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) DKI Jakarta dilangsungkan meriah di Balai Agung, Pemprov DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (2/8).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri langsung pengukuhan yang dilakukan oleh Ketua Umum JMSI Teguh Santosa.
Pengda JMSI DKI Jakarta yang dikukuhkan dipimpin trio Ketua Fahd Pahdepie dari Inilah.com, Sekretaris Aendra Medita dari JakartaSatu.com, dan Bendahara Sunarti Modjo dari KabarPublik.id.
Pengda JMSI DKI Jakarta diperkuat Dewan Pembina yang diketuai N. Syamsuddin Ch. Haesy dan Dewan Pakar yang diketuai Darmawan Sepriyossa.
Hadir dalam pengukuhan tersebut Anggota Dewan Pembina JMSI Pusat Mursyid Sonsang, Muchlis Hasyim Jahja, Ismet Rauf, dan Marah Sakti Siregar.
Pengukuhan Pengda JMSI DKI Jakarta ini semakin istimewa karena dihadiri pengurus JMSI dari seluruh Indonesia yang berada di Jakarta untuk mengikuti Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) JMSI di Hotel Borobudur.
Dibuka dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Mars JMSI, pengukuhan diawali pembacaan SK Pengurus Pusat JMSI mengenai penetapan Pengda JMSI DKI Jakarta oleh Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga Khalid Zabidi.
Selanjutnya Ketum Teguh Santosa memimpin pembacaan Janji Prasetya JMSI yang diikuti seluruh pengurus JMSI Jakarta, dilanjutkan dengan penyerahan bendera JMSI dari Ketum JMSI Teguh Santosa kepada Ketua JMSI Jakarta Fahd Pahdepie, disaksikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Kerangka Berpikir Baru
Dalam sambutannya usai pengukuhan, Fahd Pahdepie berharap seluruh anggota JMSI Jakarta dapat mengembangkan tradisi kolaborasi menggunakan kerangka berpikir baru yang ditawarkan penulis Amerika Serikat, Daniel Pink.
Kerangka berpikir baru yang dikembangkan untuk “menguasai masa depan” itu terdiri dari enam poin yakni not just function but also design, not just argument but also story, not just focus but also symphony, not just logic but also empathy, not just seriousness but also play, dan not just accumulation but also meaning.
Respon Demokratis
Ketum Teguh Santosa dalam sambutannya kembali menjelaskan tantangan yang dihadapi JMSI di tengah revolusi platform digital yang membuka ruang publik semakin luas.
Teguh membandingkan respon negara-negara demokratis dan negara non-demokratis terhadap perkembangan platform digital. Di negara non-demokratis, dunia digital juga dikendalikan dan dikontrol rezim melalui berbagai piranti dan software untuk menunggalkan informasi.
Sementara di negara demokratis yang salah satu karakternya adalah komunikasi terbuka, berkembang dua varian. Di negara-negara demokrasi yang sudah established, revolusi digital relatif tidak melahirkan pengusaha-pengusaha media baru. Atau kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak. Di negara-negara itu yang terjadi adalah konvergensi dan transformasi dari platform konvensional ke platform digital.
Sementara di negara demokratis yang masih dalam tahap berkembang, seperti Indonesia, revolusi digital diikuti pertumbuhan jumlah perusahaan media massa digital atau online yang sangat banyak. Dampaknya pun begitu rupa, termasuk kualitas karya pers yang rendah, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi bohong.
Sehingga menjadi kewajiban tersendiri bagi organisasi perusahaan pers JMSI untuk selain mengkampanyekan penerapan kode etik jurnalistik dalam karya pers yang dihasilkan anggotanya, juga membantu peningkatan kemampuan usaha anggota JMSI.
Hanya dengan karya jurnalistik yang profesional dan perusahaan pers yang sehat, ekosistem pers nasional dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi bangsa dan negara. Teguh mengingatkan, jangan sampai kebebasan di ruang digital malah merusak tenun kebangsaan yang telah lama dirajut oleh para pendahulu bangsa.
Bukan Kepentingan Jangka Pendek
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengawali sambutannya dengan mengapresiasi pokok-pokok pikiran yang disampaikan Ketua JMSI Jakarta dan Ketua Umum JMSI Pusat.
“Ada sambutan seremonial, ada sambutan substansial. Yang kita dengar tadi adalah sambutan substansial. Ketika mendengarkan, ada sesuatu yang baru. Dan ini membuktikan bahwa JMSI adalah jejaring yang hadir bukan untuk kepentingan jangka pendek, tetapi ada sebuah idealisme,” ujarnya.
Anies Baswedan lantas menguraikan praktik komunikasi di negara-negara otoriter yang menggunakan metode penyebaran rasa takut di tengah masyarakat. Model ini tidak akan bertahan lama.
Sementara negara demokrasi dibangun dengan trust atau rasa percaya, yang mencerdaskan dan melahirkan pencerahan.
Media siber, sebutnya, harus berfungsi dalam kerangka ini.
Ini artinya, sambung Anies Baswedan, media siber yang tumbuh subur di Indonesia harus berperan menjadi clearing house untuk membersihkan ruang publik dari ujaran kebencian, informasi bohong, dan rasa takut yang disebarkan pihak-pihak yang ingin membajak demokrasi untuk tujuan yang lebih sempit.