Marah Sakti Siregar, Wartawan Senior, Anggota Dewan Pakar JMSI
PROF. Dr. Bagir Manan, S.H.,MCL sedang merisaukan dunia pers dan kaum intelektual Indonesia. "Saya merasa saat ini sedang terjadi krisis intelektual. Intelectual Crisis. Kehidupan intelektual kita seperti mandek," kata mantan Ketua Dewan Pers ( 2010-2016) itu, Senin siang, (14/11/22) ketika menyampaikan sambutan pengantar untuk peluncuran buku barunya: "Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi. Dari Konstitusi, UU ITE sampai RUU KUHP."
Suasana mandek itu, ujar Prof Bagir, di hadapan para wartawan senior dan sejumlah mantan anggota Dewan Pers, terasa dengan makin jarang muncul adu wacana di kalangan cerdik pandai untuk mencari dan menegakkan kebenaran. Ruang diskusi sepi. Dan perdebatan intelektual yang berkualitas juga makin jarang terdengar.
Sebagai mantan Ketua Dewan Pers, dia menilai wartawan atau pers sebenarnya juga adalah kaum intelektual.
"Karena itu, saya mohon agar Dewan Pers dapat menghidupkan lagi ruang diskusi". Antara sesama anak bangsa dan para intelektual. "Saya pun berharap pers tetap dapat menjadi avant-garde atau berada di garda terdepan, the guardian, dalam menghidupkan suasana intelektual itu," harap mantan Ketua MA periode 2001-2008.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara itu memang tidak mengelaborasi lebih detil krisis intelektual yang diduganya telah terjadi. Namun, dalam diskusi dia sempat menyebut-nyebut kaum intelektual seperti halnya wartawan, selalu terkait dengan integritas dan idealisme dalam memperjuangkan: kebenaran, penyalahgunaan kekuasaan, dan pemberantasan korupsi.
Tokoh pers kelahiran Lampung itu lalu menyebut contoh wartawan senior Muchtar Lubis yang dikaguminya. Untuk memperjuangkan kebenaran yang diyakininya, Muchtar pernah dipenjarakan selama 7 tahun tanpa diadili.
Sikap dan komitmen Pemimpin Redaksi koran Indonesia Raya itu dalam memegang prinsip integritas dan idealismenya tidak berubah setelah dia akhirnya bebas dari penjara dan kemudian kembali menerbitkan surat kabarnya.
Apakah integritas dan idealisme para intelektual saat ini juga ikut mengalami krisis? Prof Bagir belum menguraikan sampai ke situ. Namun, realitasnya cukup banyak kaum intelektual yang sudah "menyeberang" melepaskan integritas kepakarannya ketika berhadapan dengan kepentingan pragmatis kekuasaan. Seperti yang dipertontonkan sejumlah intelektual dalam pro kontra revisi RUU KPK, penyusunan Omnibus Law dan penyusunan RUU KUHP.
Prof Bagir Manan baru bulan lalu (6 Oktober 2022) memasuki usia 81 tahun. Nyaris, setiap ulang tahun selalu ada buku yang ditulis atau catatan diskusi yang dilakoninya membahas pelbagai permasalahan hukum, konstitusi, HAM, dan kemasyarakatan. Belakangan--pasca terpilih sebagai ketua Dewan Pers-- dia kerap menulis tentang permasalahan pers nasional. "Sebelumnya sudah ada empat atau lima buku (berkaitan dengan hukum) yang ditulis Prof Bagir. Ini sekedar informasi saja," tukas Wina Armada di sela-sela diskusi.
Setahun terakhir ini, mantan Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba-1985-1986 dan 2000-2001) itu sempat menghimpun semua tulisannya tentang pers. Lalu, dia himpun dalam kumpulan tulisan yang diberinya judul: "Catatan Awam tentang Pers. "Saya serahkan kepada Ketua Dewan Pers Prof Azyumardy Azra, mantan anggota Dewan Pers Wina Armada dan Bambang Harymurti."
Sebelum berpulang, Almarhum Prof Azyumardi Azra memuji kumpulan tulisan itu: "Sangat bagus bagi Dewan Pers, konstituennya dan komunitas/warga jurnalis." Begitu antara lain, nota Ketua Dewan Pers itu kepada Prof Bagir tanggal 4 Juli 2022. "Oleh Bung Wina Armada kumpulan tulisan itu dikemas jadi buku," tutur Prof Bagir.
Ancaman RUU KUHP atas Pers
Wina Armada, yang tampil sebagai moderator dalam peluncuran dan bedah buku itu, menyatakan semua catatan Prof Bagir penting dan berharga untuk diketahui insan pers serta publik. "Prof Bagir itu rendah hati aja. Dia memberi judul Tujuh Catatan Awam tentang Pers." Padahal, sebenarnya tulisan itu adalah tulisan atau telaah pakar hukum dan pakar pers.
Mantan Sekjen PWI Pusat itu pun kemudian menggarisbawahi pelbagai catatan kritis Prof. Bagir terkait problematik pers. Termasuk salah satunya yang bisa menjadi ancaman serius--jika masukan Dewan Pers dinafikan DPR--yaitu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). RUU ini awal Juli 2022 telah diserahkan pemerintah ke DPR. Dan sekarang masih dalam proses finalisasi di DPR.
Dewan Pers sendiri, menurut Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers Agung Darmajaya, Agustus lalu, sudah menyerahkan masukan berupa daftar inventaris masalah (DIM) berkaitan dengan RUU KUHP kepada DPR. "Kami meminta DPR mereformulasi 14 pasal dalam RUU itu," katanya.
Agung menyatakan, Dewan Pers mengapresiasi hasil kerja Tim Perancang RUU KUHP, yang sekarang mau pun yang sebelumnya. Sebab, apa pun KUHP sekaarang merupakan KUHP buatan anak bangsa sendiri.
Toh, Dewan Pers seperti juga Prof.Bagir Manan, sama-sama merasakan "nuansa represifnya" masih terasa kuat. "Malah, punten, lebih represif dari sebelumnya. Ada pasal yang sebelumnya sudah dihapus karena ditolak, sekarang muncul lagi, tukas Agung.
Pasal apa, misalnya? "Itu pasal sanksi atas penghinaan terhadap presiden. Sudah pernah dihapuskan karena adanya keputusan Mahkamah Konstitusi, eh, sekarang muncul lagi, "ujar Agung.
Di bab III bukunya yang membahas RUU KUHP, Prof Bagir mencatat ada 19 pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Itulah pasal-pasal yang jelas- jelas bisa menjerat wartawan dalam delik pidana. Catatan Prof Bagir tentang ancaman pidana RUU KUHP itu dinukilkannya sbb:
1. Pers dapat tersangkut dalam suatu tindak pidana karena menyiarkan;
● Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
● Penghinaan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.
● Kejahatan terhadap kepentingan umum.
● Kejahatan terhadap kesusilaan.
2. Selain sebagai pelaku (dader) dalam bentuk menyiarkan, pers dapat juga sebagai peserta (mede dader), atau sebagai penganjur atau membujuk (uitlokker).
Lebih lanjut, Prof Bagir juga membeberkan 5 catatan lain berkaitan dengan ruang lingkup materi muatan atau substansi RUU KUHP yang terkait pers:
Pertama, bagian terbanyak materi muatan (substansi) RUU KUHP sekedar memindahkan (adopsi) ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP yang sekarang masih berlaku (warisan kolonial). Karena itu, tidak mengherankan masih didapati ketentuan-ketentuan "haat-zai artikelen" delik menyebarkan kebencian/permusuhan.
Kedua, perluasan substansi, seperti pemidanaan yang berkaitan dengan komunisme/marxisme-leninisme, ideologi Pancasila, bentuk NKRI, terorisme. Termasuk juga perluasan substansi yang sudah ada seperti hal-hal yang bertalian dengan dengan kebhinekaan, agama dan lain-lain.
Perluasan-perluasan ini, tulis Prof Bagir, didasarkan pada hipotesis atau asumsi potensi ancaman terhadap hal-hal tersebut. Tetapi perlu senantiasa diingat bahwa ancaman pidana atau pemidanaan sekali pun merupakan optimum remedium tetap merupakan tindakan yang bersifat represif. "Apakah mengedepankan tindakan represif itu tidak bertentangan dengan UUD 1945? "Apakah tidak semestinya yang dikedepankan adalah upaya "nonrepresif dari upaya "represif "?
Ketiga, penggunaan sebutan-sebutan yang dapat dimaknai "mulur mungkret" sehingga dapat lebih bermakna represif. Apakah substansi hukum "merendahkan harkat dan martabat", sehingga dapat lebih bermakna represif”? Apakah substansi"menyebarkan komunisme/marxisme-leninisme"? Apakah seorang dosen yang menjelaskan kepada mahasiswa ajaran hukum marxisme, dapat digolongkan sedang menyebarkan marxisme? Apakah pers yang terus menerus memberitahukan atau menyiarkan, misalnya, mengenai raja-raja yang bermunculan sekarang ini dipandang menggerogoti NKRI?"
Keempat, didapati (dalam RUU KUHP) berbagai tindak pidana yang serupa dengan yang dulu diatur KUH Pidana, tetapi dalam rancangan KUHP diancam dengan pidana badan atau denda yang lebih berat.
Kelima, terkait RUU KUHP dan kemerdekaan pers, paling tidak, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian. Yakni, pertama, "perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap pers". Kedua, "ancaman pidana yang lebih berat."
Menyorot tajam pasal-pasal ancaman dalam RUU KUHP, Prof Bagir kemudian mempertanyakan: "Kok banyak betul ketentuan yang mengandung muatan "belenggu terhadap kebebasan cq kebebasan pers. Sadar atau tidak sadar, menghadirkan ketentuan-ketentuan tersebut, kita masih meneruskan politik 'haat-zaai artikelen' kolonial."
Perlu sekali dicatat, lanjut pakar hukum senior itu, ketentuan-ketentuan semacam itu bukan hanya belenggu bagi yang terkena (seperti pers), tetapi juga bagi penguasa sendiri. Antara lain, betapa sulitnya menentukan perbedaan penindakan yang "legitimate" (sah) dan "arbitrary" (sewenang-wenang).
Memang, tulis Prof Bagir, kebebasan tidak absolut. Sekali pun dimaknai seluas-luasnya, tetapi tetap ada batasnya. Yaitu, tidak mencederai kebebasan orang lain, tidak mencederai hak-hak orang lain yang mesti dilindungi, seperti nama baik, fitnah berita bohong, dan lain-lain.
Namun, dia mengingatkan juga, jangan sampai ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHP, tanpa disadari jadi menafsirkan bahwa kebebasan cq kebebasan pers itu bukan lagi sesuatu yang paling mulia (the most prestigous rights).
Seperti pernah ditulis imuwan politik keturunan Jerman-AS Carl J. Fiedriech dalam "Constitutional Goverment and Democracy."
Bahwa, "kebebasan tidak lagi mesti bermakna kebebasan menggunakan pers untuk menyampaikan (mengutarakan) suatu pendapat (pandangan) tertentu. Saat ini kebebasan pers acap kali diberi makna sebagai perlindungan terhadap perusahaan besar untuk memanfaatkan kata yang dicetak (dalam pers) untuk memperoleh uang, tanpa memandang segi-segi moral, sosial, atau akibat-akibat lain dari kata-kata yang tercetak itu, dan tanpa memandang siapa yang menulis kata-kata yang dicetak itu."
Melanjutkan telaahnya, Prof. Bagir menyatakan, kita percaya, para perancang RUU KUHP adalah para cendekiawan, yang mencintai kebebasan dan berwawasan luas. Namun, paling kurang, ada hal yang membedakannya dengan para penyusun dan anggota Kongres AS yang menyetujui Amandemen I (supra). Yaitu, dalam meletakkan/menempatkan wawasan. Para penyusun dan Kongres berwawasan optimistik. Bahwa rakyat akan menjadi penjaga yang gigjh dan tangguh agar tidak terjadi penyalahgunaan kebebasan cq kebebasan pers.
Sebaliknya wawasan para perancang RUU KUHP bertolak dari asumsi mencegah "penyalahgunaan" kebebasan qc kebebasan. Di sini, berlaku prinsip "mencegah" lebih baik dari pada "memperbaiki" atau "memulihkan".
Cara pandang semacam ini, simpul Prof.Bagir, dapat bernuansa "kesuraman" atas masa depan karena lebih didominasi oleh nuansa serba pelanggaran.
Penulis adalah wartawan senior, anggota Dewan Pembina JMSI