Artikel

Dilema dan Absurditas Tindak Pidana Ideologi Negara di RKHUP

KOMENTAR
post image
Eko H. Sembiring Depari, Anggota Bidang Hukum JMSI Pusat

Eko H. Sembiring Depari, Anggota Bidang Hukum JMSI Pusat

MELACAK munculnya tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam bagian khusus tentang Tindak Pidana Ideologi Terhadap Negara dan sebagai bagian daripada Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara di RKHUP, tentu terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasinya yakni peristiwa politik kekuasaan masa lalu Tap MPR No. XXV tahun 1996, dan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Berita Terkait


Walaupun sebagaimana kita ketahui, istilah Tindak Pidana Ideologi Terhadap Negara merupakan sistematika baru dalam literatur hukum pidana kita. Artinya, jika merujuk terhadap sistematika KUHP Jo. Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999, hal-hal yang berkaitan dengan penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme Marxisme-Leninisme dianggap merupakan bagian tambahan langsung Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, bukan bagian khusus Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara.

Cara memahami dan memaknai perubahan sistematika tersebut, tentu jika kita terhubung langsung dengan pasal 188 ayat (1) RKUHP berikut dengan penjelasannya. Di dalam pasal 188 ayat (1) RKUHP dijelaskan bahwa:

“Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.

Di bagian penjelasannya dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “komunisme/marxisme-leninisme” adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila”.

Mengutip pendapat Jan Remmelink tentang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa:

“Hukum Pidana memiliki krakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah. Perintah dan Larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana”.

Dalam hal ini, membaca pasal 188 ayat (1) RKUHP beserta penjelasannya justru menimbulkan absurditas dalam kerangka berpikir secara akademik. Pasalnya, ketentuan tersebut tidak pernah memberikan suatu perintah dan larangan yang tegas.

Misalnya, apakah ajaran Karl Marx sebagai dasar dan taktik perjuangan hanya diajarkan oleh Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung? Apa yang dimaksud dengan “lain-lain”? Apa yang dimaksud dengan benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila?

Hal tersebut akhirnya membawa kita pada sebuah titik kesimpulan, tafsir otentiknya (bagian penjelasan) justru menambah absurd isi daripada larangan dan perintah dalam ketentuan pasal 188 ayat (1) RKHUP. Jika ketentuan terebut dipaksakan sebagai bagian hukum positif kita ke depan, maka dapat dibayangkan kekacauan sistematika rumusan surat dakwaan Penuntut Umum dan pembuktian Terdakwa dalam sebuah formula abstrak “yang bertentangan dengan falsafah Pancasila”.

Sejauh ini akhirnya kita dapat memahami kemunculan sistematika baru Tindak Pidana Ideologi Terhadap Negara di RKHUP. Dalam hal ini, Falsafah Pancasila secara sistematis harus dipahami dalam konteks Ideologi Negara. Artinya, pembacaan teks Pancasila harus besifat tunggal, pasti dan mutlak. Dalam tataran yang lebih absrak, kondisi tersebut jutru akan membawa konsekuensi buruk terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena setiap Rezim yang berkuasa pasti akan memberikan tafsir tunggal terhadap Pancasila itu sendiri. 

 

Foto Lainnya

Pers Turut Berperan Menorehkan Prestasi Olahraga

Sebelumnya

Menyusul Perpres Tanggung Jawab Platform Digital, Bappenas Perkenalkan BEJO’S

Berikutnya

Artikel Berita